Senin, 28 April 2014

◆◆Tim Paling Defensif & Anti-Sepakbola◆◆


Parkir bus. Itulah julukan universal yang ditujukan kepada taktik Jose Mourinho ketika Chelsea mampu mendapat hasil imbang tanpa gol dalam leg pertama semi-final Liga Champions kontra tuan rumah Atletico Madrid, tengah pekan lalu. Kritik pun mendarat ke arah pria Portugis itu, sekalipun strategi ultra-defensif ini tidak melanggar aturan. 

Dan pada Minggu (27/4) kemarin, kritik lebih tajam kembali didapatkan Mou setelah The Blues secara impresif merengkuh kemenangan 2-0 di Anfield. Hampir sepanjang 90 menit, Mourinho menempatkan sepuluh pemain di belakang bola. Tetap saja, Liverpool gagal membongkar tembok kokoh milik Chelsea itu. Malahan, dua gol Demba Ba dan Willian via serangan balik sukses membuat pasukan Brendan Rodgers gigit jari dan membuat persaingan gelar Liga Primer Inggris semakin terbuka.  

Mou kemudian dipuja-puja dan dianggap genius. Namun tak sedikit pula yang menuduhnya sebagai ‘anti-sepakbola’. Meski demikian, The Special One bukan orang pertama mengadopsi taktik semacam ini. Sejarah membuktikan, banyak tim yang memilih opsi untuk bertahan total dan hasilnya cukup sukses. Kami mencoba memberikan beberapa contoh masyhur tim-tim sepakbola sepanjang masa yang menampilkan taktik serupa.

◆ Argentina - Piala Dunia 1990

Rataan gol 2,21 per partai di Piala Dunia menjadi angka terendah yang pernah terjadi dalam sejarah penyelenggaraan perhelatan akbar itu dan hal tersebut terjadi pada 1990. Argentina berperan besar dalam ‘menyumbang’ kecilnya angka tersebut setelah mampu lolos ke final turnamen meski hanya mencetak lima gol dalam tujuh partai.  

Argentina masuk ke turnamen sebagai juara bertahan dan Diego Maradona dkk. memilih opsi untuk memainkan taktik super bertahan yang tak dinyana-nyana nyaris membawa mereka juara lagi. Pasukan Carlos Bilardo membekuk Brasil 1-0 di ronde kedua meski sejak menit pertama selalu tertekan. Dua laga selanjutnya, Albiceleste menghentikan Yugoslavia dan tuan rumah Italia, semuanya via adu penalti. Dan di final, Jerman Barat membutuhkan waktu hingga menit 85 untuk mencetak gol kemenangan dan membuat sepakbola negatif ini akhirnya terkapar juga.

◆ Arsenal 1992-1995

Nyanyian “boring, boring Arsenal” lekat pada The Gunners di era 1990-an berkat taktik George Graham yang membuat fans mereka selalu bertanya-tanya apakah pekan ini timnya mencetak gol atau tidak. Graham sendiri masuk ke Highbury pada 1986, tapi barulah pada 1992 ia membuang jauh-jauh taktik menyerangnya. Di tiga musim terakhirnya, rata-rata Arsenal mencetak 40 gol per musim. Bandingkan dengan rataan gol per musim di enam tahun pertamanya, yakni mencapai 66 gol per musim. 

Meski taktik baru Graham tersebut gagal membuat Arsenal kembali merengkuh gelar liga, tapi Tim Meriam London menjadi tim pertama yang mampu meraih double Piala FA dan Piala Liga di 1993. Empat bek inti mereka -- Lee Dixon, Tony Adams, Steve Bould, dan Nigel Winterburn -- dinilai sebagai salah satu susunan pemain belakang terbaik di Inggris sepanjang sejarah.

◆ Yunani - Euro 2004

Kejayaan Yunani di Euro 2004 akan menjadi cerita abadi di dunia sepakbola tentang kesuksesan sebuah tim underdog. Pelatih Yunani pada waktu itu, Otto Rehhagel, tentu sadar jika timnya bukan favorit, berkomposisi pemain rata-rata, dan tak bisa bergantung pada pemain bintang. 

Maka dari itu, ia membentuk pertahanan super kokoh dan membuat mereka bermain penuh kesabaran. Mereka hanya menempatkan pemain di depan saat sepak pojok atau bola mati. “Orang-orang mengatakan bahwa taktik saya ini jauh dari kata modern. Tapi dalam sepakbola modern, kemenangan adalah segalanya,” ujar Rehhagel.

◆ Internazionale 1960-an

La Grande Inter adalah julukan kepada era keemasan Inter di tahun 1960-an di mana mereka menampilkan sistem Catenaccio paling sempurna. Tujuan permainannya adalah mencetak satu atau dua gol dalam serangan balik dan membuat para penyerang lawan frustrasi karena terkepung para bek.

Helenio Herrera, sang juru taktik, mampu membawa Nerazzurri merengkuh dua gelar Piala Champions Eropa dan tiga scudetto dengan sistem pertahanan gerendel ini. Kesuksesan ini tak lepas dari bek-bek kelas dunia semacam Giacinto Facchetti, Rarcisio Burgnich, dan Armando Picchi yang membuat lawan-lawan mereka takluk sebelum sempat masuk kotak penalti Inter.

◆ Glasgow Rangers 2007/2008

Dari Catenaccio, berubah menjadi Watenaccio. Taktik Walter Smith bersama Rangers ini mendapat banyak kecaman dalam petualangan mereka di Eropa pada musim 2007/08. Pada waktu itu, Lionel Messi mengeluh soal Watenaccio ini setelah bermain imbang tanpa gol di fase grup Liga Champions. “Rangers tak mau bermain sepakbola, mereka memainkan anti-sepakbola sejak menit pertama,” ujarnya. 

Rangers memang terlempar ke Piala UEFA, namun setelah itu Smith kembali menerapkan taktik ultra-defensif sepanjang turnamen dan nyaris berbuah kesuksesan. Wakil Skotlandia ini melaju hingga ke final dengan mencetak lima gol dari delapan partai dan akhirnya takluk 2-0 dari Zenit St Petersburg di partai puncak.

◆ Stroke City 2008-2013

Sejak promosi pada 2008, butuh 116 laga di EPL sehingga ball possession Stoke City berada di atas 50 persen. Taktik minim penguasaan bola ini ternyata mampu membawa The Potters sama sekali tak pernah benar-benar terancam turun divisi. 

Tony Pulis membuat tim besutannya ini tampil tak menarik, tapi sekaligus membuat Britannia Stadium sebagai benteng tangguh mereka. Dalam lima musim, Pulis hanya semusim membawa Stoke mencetak gol lebih banyak dari jumlah laga yang dimainkan. Pihak klub dan fans pun menuntut kreativitas lebih sehingga ia dipecat pada musim panas lalu.

4 komentar: